
Atlantastarparty.com – Token yang tidak bisa dipertukarkan (NFT) ialah Objek digital yang sebagai wakil suatu hal lainnya, seperti kreasi seni, bahkan juga tweet, atau video. Mereka menetapkan kehadiran dan pemilikan barang ini lewat rekaman data di blockchain (Teknologi ledger terdistribusi).
Semenjak timbulnya NFT di tahun 2016, banyak seniman sudah melakukan eksperimen dengan piranti digital baru ini untuk pasarkan kreativitas mereka. NFT tersering dibeli dan dipasarkan kembali lewat website lelang, di mana pembayaran dilaksanakan dalam mata uang kripto (seperti mata uang eter). Ide mengenai sertifikat yang tercatat di blockchain berikut yang membandingkan NFT dari kreasi digital standar.
Wawasan khalayak dan media mengenai NFT terpolarisasi: di mata fans paling kuat mereka, NFT sebagai wakil masa datang seni, sementara beberapa pencela memandang mereka sebagai penipuan pemborosan energi dan besar.
Bagaimana peristiwa NFT ini bisa diidentikkan? Seberapa jauh hal tersebut melawan kode-kode seni kontemporer yang telah mapan?
Sebagai seorang periset yang berspesialisasi dalam study media dan sosiologi budaya, saya memberi deskripsi singkat mengenai keadaan itu.
Pemuja Kripto dan Pencela Kripto

Di satu segi, ada tim yang bisa dilukiskan sebagai penginjil crypto: mereka berpedoman wawasan yang mendatangkan NFT sebagai revolusi radikal yang hendak mengganti segalanya.
Berikut persisnya wawasan sekitar pemasaran kreasi seniman Beeple yang spektakuler di tahun 2021 (kolase sketsa yang dibikin oleh piranti lunak digital) di dalam rumah lelang berprestise Christie’s dengan harga nyaris US $ 70 juta. Menurut dua konsumen khusus, pembelian itu sebagai “simbol revolusi yang berjalan”, dan mengidentifikasi “awalnya dari pergerakan yang sudah dilakukan oleh semua angkatan “.
Di lain sisi, ada crypto-skeptis. Ini ialah status Hito Steyerl, seorang seniman media yang dianggap secara luas. Ia yakin jika NFT ialah “sama dengan maskulinitas beracun,” dan berutang perubahannya ke “artis terjelek dan paling monopolistik” yang “ambil tenaga kerja dari karyawan tak tetap” dan “ambil kebanyakan perhatian dan habiskan semua oksigen di ruang.”
Polarisasi ini memiliki arti jika kekuatan riil NFT, dan kekurangannya, yang juga riil, condong dibayang-bayangi oleh status konsep yang karikatur. Tetapi, dalam ekosistem NFT ini, ada rangkaian praktek artistik yang jamak dan kaya.
Episode Terinovatif yang Pernah Ada

Pola NFT terang sebagai wakil tipe Objek baru yang diperjualbelikan. Ini didasari pada tipe kontrak baru (dikenali sebagai “pandai “), yang disebut dari hasil pengembangan Teknologi blockchain. Dengan langkah ini, pola NFT munculkan episode inovatif baru. Atau, lebih persisnya, episode-adegan, berbentuk jamak, yang diidentikkan oleh semangat yang hebat — tapi juga oleh konflik-kontradiksi tertentu.
Episode “asli” dari pola NFT, maknanya, mereka yang lahir dengan penemuan pola ini, diidentikkan oleh visibility media yang kuat, volume investasi keuangan yang mencapai jauh, dan, untuk beberapa artisnya, a kemauan untuk mengubah kartu dunia seni dengan mengomentari aturan yang telah mapan.
Mayoritas pembikin NFT datang dari praktek pemodelan 3D, design grafis, design animasi atau video games — dalam kata lain, dari bidang industri kreatif. Dalam beberapa dasawarsa paling akhir, bidang ini sudah hasilkan kelompok ketrampilan yang besar sekali, yang kelebihan inovatifnya mendapati model gestur dalam pola NFT, tapi juga jadi sumber penghasilan tambahan untuk menangani keadaan kerja inovatif yang sering genting.
Banyak figure dari episode NFT asli, memakai pernyataan sosiolog Howard S. Becker, orang luar (orang baru) dibanding dengan dunia seni yang telah mapan. Maknanya, mereka bergaul di lingkaran selainnya dunia seni institusional, dan mereka menyalahi ketentuannya dalam beberapa hal.
Dunia Seni yang Lebih Egaliter?

Wawasan konsumen khusus kreasi spektakuler Beeple benar-benar membuat cerah dalam artian ini. MetaKovan dan Twobadour (dua investor dunia crypto, ke-2 nya datang dari India) mengutarakan dalam sebuah interviu:
Kami sudah dikondisikan, semenjak umur benar-benar muda, untuk berpikiran jika seni tidak untuk kami. …Kami selalu melawan ide eksklusivitas. Metaverse semua inklusif. … Sebuah metaverse di mana tiap orang akan mempunyai hak, kekuasaan yang serupa, bisa menjadi sah. … Ini benar-benar egaliter.
Tetapi, ada konflik besar di antara wawasan egalitarianisme yang mereka sarankan di sini, dan aplikasinya dalam project ke-2 investor ini. Misalkan, sepanjang acara seni Teknologi Dreamverse yang mereka adakan di New York di tahun 2021, harga ticket masuk malam hari bervariatif di antara US$175 dan $2.500 — ongkos yang tidak dapat dijangkau untuk banyak amatir. Hierarki harga ini lebih ke arah pada reproduksi nalar eksklusivitas yang memihak pada yang paling untung.
Museum-Museum Mulai Waspada

Ketimpangan di antara nilai pasar NFT dan nilainya di museum belum sempat terjadi sebelumnya. Yang pertama capai ketinggian yang belum sempat terjadi awalnya, dan yang paling akhir masih ada di titik paling rendah. Memang, koleksi NFT oleh museum sampai ini hari masih sebagai praktek yang paling marjinal. Cuma sedikit NFT yang diintegrasikan ke koleksi museum. Beberapa pada mereka didapat sesudah pameran di museum, di mana mereka dihidangkan di monitor digital yang digantung di dinding.
Legalitas budaya dikuasai oleh disintermediasi (penghilangan mediator) dan reintermediasi (pengenalan mediator baru) sebagai ciri-ciri dunia NFT. Dalam dorongannya yang mengusik, revolusi NFT yang diproklamirkan menggunting dirinya dari rantai mediator yang syah dan mapan – pemilik galeri, kurator, kritikus seni, kolektor bantuan khalayak, dan konservatif.
Itu sudah gantikan mereka dengan mediator baru, khususnya “paus” – investor yang mendapatkan banyak uang dalam cryptocurrency – atau selebritas budaya terkenal. Mediator baru ini kebanyakan melakukan investasi dalam modal keuangan dalam produksi NFT dengan arah memperoleh status prestise sebagai kolektor, atau membuat bertambah diri dengan tingkatkan nilai karya. Tapi mereka sering kekurangan modal sosial dan budaya untuk mendapati langkah terhubung museum dan ruangan pameran dan koleksi mereka.
Dalam Pencarian akan Legalitas

Tetapi, beberapa karya ini bisa dijangkau khalayak, karena semua NFT bisa dicari secara bebas di dompet electronic konsumen mereka. Beberapa kolektor beli kreasi cuma untuk bertaruh. Yang lain memperoleh visibility dengan tampilkan NFT mereka di metaverse (dunia virtual) seperti Decentraland atau Space.
Dan untuk lainnya, penelusuran legalitas masih bersambung: pada musim semi 2022, satu kelompok seniman, kurator, kolektor, dan basis NFT mengadakan Paviliun Seni Desentral, bertepatan dengan Venice Biennale. Masih tetap di luar program sah, pameran ini mempunyai tujuan untuk tempatkan NFT di orbit acara seni kontemporer khusus ini.
Tetapi kedatangan NFT masih tetap marjinal dalam edisi dua tahunan ini. Cuma paviliun Kamerun yang memperlihatkan NFT di bawah kepimpinan seorang kurator dengan rekam jejak yang hasilnya menyebalkan, dan jelek.
Pernyataan NFT oleh dunia seni konsekrasi kemungkinan bisa terjadi lewat jalan lain, seperti praktek yang lebih uji cobatal yang dihidangkan pada pameran seni documenta di Kassel, Jerman tahun ini, atau lewat pergerakan artistik dari negara berkembang, seperti project Balot, yang memakai NFT untuk mengomentari perampasan kreasi yang dari Republik Kongo oleh museum Amerika.
Jadi pernyataan dapat tiba dari pinggiran. Tetapi pada kasus ini, beberapa pemain marjinal dapat gampang terhubung dunia seni yang telah mapan karena mereka share kodenya.